Salam Pendidikan,
Pada dasarnya Ujian Nasional (UN)
dilaksanakan untuk melakukan evaluasi sejauh mana peserta didik mampu memahami proses
pembelajaran disekolah, tetapi pada kenyataannya Kemdiknas melaksanakan ujian
nasional untuk menentukan lulus atau tidak lulusnya peserta didik.
Akibat dari ujian nasional
digunakan sebagai “FAKTOR” yang menentukan lulus tidaknya peserta didik
menimbulkan berbagai persoalan sebagai berikut :
- Kasus bunuh diri akibat tidak lulus UN.
- Kasus putus sekolah akibat tidak lulus UN.
- Kasus pemenang “olympiade sains” tidak lulus UN.
- Kasus pembocoran soal UN.
- Kasus pembocoran jawaban UN.
Menyikapi persoalan tersebut
diatas, sekelompok masyarakat melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, menuntut pemerintah agar menghapus/menghentikan pelaksanaan
ujian nasional. Gugatan tersebut dimenangkan oleh kelompok masyarakat dengan Putusan
Pengadilan Negeri No.228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST.
Pemerintah sebagai pihak tergugat
melakukan perlawanan dengan melakukan upaya banding melalui Pengadilan Tinggi
DKI, upaya banding tersebut dimenangkan oleh kelompok masyarakat dengan Putusan
Pengadilan Tinggi No. 377/PDT/2007/PT.DKI.
Pemerintah tidak puas dengan
keputusan Pengadilan Tinggi tersebut dan melakukan upaya hukum ke Mahkamah
Agung, lagi-lagi pemerintah “dipercundangi” dengan Keputusan MA yang
memenangkan pihak penggugat yaitu kelompok masyarakat yang perduli akan
pelaksanaan pendidikan nasional.
Menyikapi hasil Keputusan MA
tersebut, pemerintah melalui Kemdiknas tetap melaksanakan UN dengan alasan
bahwa keputusan MA tersebut tidak dengan “spesifik” menyatakan
menghentikan pelaksanaan UN, tetapi menyatakan banyak persoalan-persoalan pada
pelaksanaan ujian nasional.
Kemdiknas pada tahun ajaran 2012-2013 menggunakan
anggaran sebesar Rp.600 M untuk pelaksaan Ujian Nasional, dan sepertinya
Kemdiknas menyikapi Keputusan MA tersebut “hanya untuk mengantisipasi
kebocoran soal dan jawaban”, dengan
melaksanakan “UN Extra Ketat” . (20 paket soal dan satu
ruangan terdiri dari 20 peserta didik dengan paket soal yang berbeda-beda).
Keputusan MA tentang “banyaknya
persoalan dan permasalahan pada pelaksanaan UN”, menurut analisa EDC adalah
menyangkut :
- Apakah kemampuan dasar peserta didik disekolah yang satu, sama dengan kemampuan dasar peserta didik disekolah yang lain, sehingga materi UNnya harus dibuat sama???
- Apakah materi UN untuk sekolah dengan sarana dan prasana lengkap, sama dengan materi UN untuk sekolah dengan sarana dan prasara kurang lengkap???.
- Apakah materi UN dengan tenaga pendidik berkompetensi tinggi disamakan dengan sekolah dengan tenaga pendidik berkopetensi rendah???.
- Apakah materi UN untuk sekolah-sekolah daerah terpencil/desa disamakan materi UN dengan sekolah-sekolah diperkotaan???.
Seharusnya Kemdiknas melaksanakan
UN untuk melakukan “EVALUASI INTERNAL” sehingga dapat mengeluarkan
kebijakan/program untuk memperbaiki keempat poin diatas, karena “INTI”
persoalan dan permasalahan yang timbul akibat pelaksanaan UN adalah karena nilai UN
dijadikan “FAKTOR” yang menentukan
“LULUS atau TIDAK LULUS”nya peserta didik, bukan karena terjadinya “Kebocoran
UN”
Education Development Community
menilai bahwa pelaksanaan UN “EXTRA KETAT” merupakan kebijakan “LEBAAY” dan juga
merupakan indikasi “Pelanggaran HAM”, karena memperlakukan dan menghakimi
peserta didik dengan materi UN yang sama.
Demikian disampaikan, dan
diharapkan bagi semua elemen masyarakat agar tetap mengawasi program dan
kebijakan Kemdiknas sehingga tujuan pendidikan nasional dapat tercapai, menuju Indonesia
yang lebih baik, terima kasih.
Salam Pendidikan,
Direktur Eksekutif EDC
Drs. Antonius Sathahi. MMG