Yang dimaksud dengan Tenaga Honorer adalah seseorang yang diangkat oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian atau Pejabat lain dalam pemerintahan untuk
melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau penghasilannya
menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah. Pengertian Tenaga Honorer tersebut tertuang pada Pasal 1 ayat
(1) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 48 tahun 2005. Syarat lain tertuang pada
Pasal 3 tentang usia maksimal 46 tahun.
Seluruh Honorer yang memenuhi syarat PP 48 tersebut akan diangkat menjadi
CPNS sampai tahun 2009, namun pada saat pelaksanaannya terdapat banyak
persoalan sehingga PP tersebut direvisi menjadi PP 43 tahun 2007. Poin penting
pada PP 43 tersebut adalah untuk memprioritaskan pengangkatan CPNS tenaga guru
dan tenaga medis kesehatan.
Dalam proses pengangkatan CPNS dari jalur honorer tersebut ternyata belum
tuntas hingga tahun 2009 seperti yang tertuang pada PP 48 2005, sehingga
pemerintah kembali merevisi PP tersebut menjadi PP 56 tahun 2012. Pada PP 56 tersebut muncullah istilah honorer
tertinggal yang kemudian dikategorikan menjadi Honorer K1 dan K2. Honorer K1
adalah tenaga honorer yang bekerja di Instansi Pemerintah dan pembiayaannya
melekat pada APBN/APBD akan diangkat menjadi CPNS tanpa tes, sedangkan Honorer
K2 adalah tenaga honorer yang bekerja di Instansi Pemerintah namun
pembiayaannya tidak bersumber pada APBN/APBD, juga diberikan kesempatan menjadi
CPNS dengan cara di tes sesama honorer K2.
Pada akhir pemerintahannya SBY mengesahkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada UU tersebut muncullah istilah PPPK (Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang disebut juga pegawai ASN Non PNS.
UU ASN dimasa pemerintahan SBY inilah yang menutup ruang atau kesempatan
bagi tenaga honorer, terutama honorer K2 untuk diangkat menjadi CPNS. Sudah dua
kali dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun keduanya ditolak
oleh MK. Disinilah salah satu letak persoalan yang kurang dipahami oleh
komunitas yang mengatasnamakan honorer K2. Komunitas tersebut lebih memilih
mengajukan uji materi ke MK, dari pada menuntut pemerintah merevisi UU ASN,
padahal Agustus 2015 sudah pernah ditolak oleh MK.
Pada Desember 2018 akhirnya pemerintahan Jokowi pengeluarkan PP 49 tentang
Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), PP 49 tersebut
merupakan turunan dari UU No. 5 tahun 2014. PP 49 tersebut juga menjadi dasar
penerimaan pegawai ASN Non PNS yang disebut dengan P3K, dan sudah dilaksanakan
seleksi penerimaan pada tahun 2019 untuk quota kurang lebih 50000 P3K.
Setelah memahami seluruh Regulasi tentang honorer seperti diatas, langkah
apa yang seharusnya dilakukan oleh komunitas honorer?
Menurut Analisa EDC hanya 2 opsi pilihan yang seharusnya dilakukan oleh
komunitas honorer, yaitu :
Opsi Pertama:
Jika tujuan akhir perjuangan diangkat jadi ASN PNS, komunitas harus
mendesak pemerintah agar merevisi UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN.
Opsi Kedua:
Jika tujuan akhir perjuangan diangkat jadi PPPK (ASN Non PNS), komunitas
harus mendesak pemerintah untuk membuat peraturan yang jelas tentang Perjanjian
Kerja, sebab jangan sampai Pejabat Pemerintah seenaknya memutus perjanjian
kerja terhadap PPPK.
Menurut EDC, mendesak pemerintah mengeluarkan SK/Honor untuk 50.000 PPPK
yang sudah lolos seleksi adalah tindakan yang kurang tepat, sebab masih ada
ruang untuk PPPK yang lolos seleksi diangkat menjadi PNS apabila UU ASN
direvisi.
Mengatakan Keppres dapat menjadikan honorer diangkat menjadi PNS adalah
pernyataan konyol, hal itu menunjukkan bahwa komunitas tersebut tidak
memahami peraturan tentang honorer, sangat memprihatinkan adanya komunitas yang
menyatakan semangat Keppres untuk diangkat jadi PNS.
Juli 2020
Direktur Eksekutif EDC
Drs. Antonius Sathahi. MMg